Selasa, 19 Januari 2010

Morfina


Morfina ialah sejenis drug analgesik narkotik yang dijumpai di dalam candu. Tidak seperti kebanyakan opioid, morfina bertindak secara langsung ke atas sistem saraf pusat, terutama di sinapsis nukleus arkuat, untuk melegakan kesakitan. Kesan sampingan daripada pengambilan morfina termasuk gangguan keupayaan mental, euforia, kelalian, keadaan tidak bermaya, dan penglihatan kurang jelas. Drug ini juga mengurangkan selera makan, menghalang refleks batuk, dan menyebabkan sembelit. Morfina selalunya sangat menagihkan berbanding bahan-bahan yang lain, dengan toleran, dependens fizikal dan dependens psikologi cepat terbina. Pesakit-pesakit yang dirawat dengan morfina sering merungut tentang insomnia dan mimpi buruk.
Perkataan "morfina" berasal daripada perkataan Yunani "Morpheus", dewa mimpi dalam mitologi Yunani.

Indikasi
Morfina ditemui dalam berbagai penyediaan obat. Obat ini boleh diberikan melalui suntikan-suntikan subkutaneus, intravena, atau epidura. Ketika disuntik, khususnya melalui intravena, morfina mengakibatkan pengecutan otot yang amat kuasa dan oleh itu, menyebabkan aliran darah yang tiba-tiba amat kuat. Angkatan tentera kekadang diberikan morfina yang diisi dalam penyuntik automatik.

Morfina yang diambil melalui mulut berbentuk eliksir, larutan pekat, serbuk (untuk penyebatian), atau tablet. Drug ini jarang diberikan dalam bentuk supositori. Disebabkan bioketersediaan mulut yang kurang baik, potensi morfina mulut adalah hanya satu perenam hingga satu pertiga berbanding potensi morfina parenteral. Morfina boleh didapati dalam bentuk kapsul pelepasan lambat untuk rawatan kronik, serta perumusan pelepasan segera.

Morfina digunakan secara sah untuk perkara-perkara berikut:
• sebagai analgesik di dalam hospital untuk:
- sakit selepas pembedahan
- sakit yang berkaitan dengan trauma
• untuk melegakkan sakit kronik:
- sakit yang diakibatkan oleh kanser
- sakit daripada karang ginjal
• sebagai tambahan untuk anestesia am
• untuk anestesia epidura
• untuk penjagaan paliatif, iaitu untuk melegakan sakit tanpa mengubati punca
penyakitnya)
• sebagai antitusif untuk batuk yang teruk
• sebagai antidiarea untuk keadaan-keadaan yang kronik (misalnya, cirit-birit yang
dikaitkan dengan AIDS
• untuk melegakan sesak nafas bagi pesakit-pesakit yang menghidapi kegagalan
pernafasan.

Kontra Indikasi
•pankreatitis akut (ini mungkin juga diakibatkan oleh penggunaan morfina)
•kegagalan renal (disebabkan oleh penumpukan metabolit, morfina-6-glukuronid)

Sejarah dan salah guna
Morfina diasingkan buat pertama kali pada tahun 1804 oleh Friedrich Wilhelm Adam Serturner, seorang ahli farmasi Jerman yang menamakan drug ini sebagai morphium bersempena nama dewa mimpi Yunani, Morpheus. Namun, drug ini tidak digunakan secara meluas sehinggalah jarum hipodermik dicipta pada 1853. Ketika itu, morfina digunakan untuk melegakan kesakitan dan secara ironik, digunakan untuk "mengubati" ketagihan candu dan alkohol. Penggunaan drug ini secara meluas semasa Perang Saudara Amerika mengakibatkan 400,000 orang menghidapi penyakit tentera (iaitu ketagihan), walaupun sesetengah orang menafikan hakikat ini.
Heroin (diasetilmorphin) dihasilkan daripada morfina pada tahun 1874. Sebagaimana dengan drug yang lain, pemilikannya tanpa preskripsi merupakan satu jenayah di Amerika Syarikat di bawah Akta Cukai Narkotik Harrison 1914, dan di United Kingdom di bawah Akta Penyalahgunaan Dadah 1917. Selain itu, penyalahgunaan dadah ini juga diharamkan di Malaysia di bawah Akta Dadah Berbahaya 1952 (Pindaan 1998).
Morfina merupakan analgesik narkotik yang paling disalahgunakan di dunia sehingga heroin disintesiskan dan dipergunakan. Sehingga hari ini, morfina masih merupakan narkotik preskripsi yang amat dicari-carikan oleh penagih-penagih ketika heroin sukar didapati.
Dalam sebuah kajian rawak uji buta ganda dua dengan pindah silang di sebuah klinik pesakit luar yang terletak di Bern, Switzerland, morfina terbukti mempunyai kesan-kesan sampingan yang lebih teruk berbanding heroin pada dos analgesik yang sama. Kemurungan pernafasan, miosis, sedasi, rasa gatal, dan euforia adalah lebih ketara.
Sumber : http://ms.wikipedia.org/wiki/Morfina

Trimetoprim

Trimetoprim adalah suatu penghambat dihidrofolat reduktase bakteri poten yang menunjukkan spectrum antibakteri mirip dengan sulfa. Namun demikian, trimetoprim lebih sering dikombinasikan dengan sulfametoksazol.

Mekanisme Kerja. Bentuk folat aktif adalah derivate tetrahidro yang dibentuk melalui reduksi oleh dihidrofolat reduktase. Reaksi enzimatik ini dihambat oleh trimetoprim, yang menimbulkan turunnya koenzim folat purin, pirimidin dan sintesis asam amino. Afimitas enzim reduktase bakteri terhadap trimetoprm lebih kuat dibandingkan dengan enzim mamalia, yang dapat diperhitungkan sebagai toksisitas selektif obat.
Spektrum antibakteri. Spektrum antibakteri trimetoprim mirip sulfametoksazol; namun demikian, trimetoprim 20 – 50 kali lebih poten dari sulfinamida. Trimetoprim dapat digunakan secara tunggal untuk pengobatan infeksi traktus urinarius akut dan prostatitis bakterial.

Resistensi. Resistensi pada bakteri gram negative disebabkan adanya perubahan dihidrofolat reduktase yang afinitasnya terhadap obat lebih kecil.

Farmakokinetik. Cirri farmakokinetik trimetoprim serupa dengan sulfametoksazol, tetapi konsentrasi yang lebih besar dapat dicapai pada prostat yang bersifat asam
dan cairan vagina karena obat ini merupakan basa lemah. Trimetoprim mengalami demetilasi-O.

Efek samping. Trimetoprim dapat menyebabkan defisiensi folat, yaitu berupa anemia megaloblastik, leucopenia, dan granulositopenia. Reaksi ini dapat segara diperbaiki dengan pemberian asam folinat secara stimulant yang tidak dapat masuk ke dalam bakteri.
Sumber : Mycek_Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2 (296-297)

Cyclosphosphamide dan Ifosfamide

Merupakan obat sititastik dengan mekanisme kerja alkylating agent . Obat2 ini sgat mirip dengan zat mustard dan toksisitasnya hampir sama. Keistimewaannya adalah :
1.Tidak dapat per oral
2.Hanya dapat bersifat sitotoksik setelah berbentuk derivate alkilasinya, setelah
hidroksilasi dengan sitokrom P-450

Mx: Siklofosfamid merupakan zat alkilator yg paling banyak digunakan. Baik siklofosfamid ataupun ifosfamid akan mengalami biotranformasi hidroksilasi oleh system sitokrom P-450. Zat antara hidroksilasi ini akan terurai dalam bentuk aktif, mustard fosforamid mustard dengan DNA dianggap bersifat sitotoksik (catatan: efek terapeutik obat2 ini tdk tergantung pd aktivitas system sitokrom P-450).
Resistensi tjd karena perbaikan DNA yg meningkat, berkurangnya permeabilitas obat, dan rx obat dgn tiol (umpamanya, glutation). Tetapi, resistensi silang tdk selalu terjadi.

Zat2 ini mempunyai spectrum klinik yg luas, digunakan baik tunggal atau bagian dari suatu regimen pengobatan berbagai jenis penyakit neoplasma, misalnya, limfoma Burkitt dan kanker mammae. Penyakit non-neoplasma, seperti sindrom mefrotik dan arthritis rheumatoid hebat juga dpt diobati scra efektif dgn siklofosfamid.
Tidak seperti obat2 alkilator, siklofosfamid dan ifosfamid sebaiknya diberika p.o. Hanya jumlah kecil obat asli yg dikeluarkan dalam feses (setelah transport biliar) atau dalam urin oleh filtrasi glomerular.

Toksisitas yg menonjol utk kedua obat (alopesia, mual, muntah dan diare) adalah depresi sumsum tulang, terutama leukositosis dan sistitis hemoragik yg dpt sampai fibrosis kendung kemih. Toksisitas terakhir dikatakan disebabkan karena akrolein dlm urin pada kasus siklofosfamid dan metabolit toksik ifosfamid. Note: hidrasi yg cukup serta injeksi i.v MESNA (natrium 2-merkaptoetane sulfonat), yg melumpuhkan senyawa toksik, akan mengurangi msalah tsbt. Toksisitas lain termasuk efek pada sel germinativum menimbulkan amenenore, atrofi testis dan sterilitas. Insidens yg agak tinggi dari neurotoksisitas telah dilaporkan pd px dgn ifosfamid dosis tinggi, barangkali karena metabolit, klorasetaldehid. Keganasan kedua dapat terjadi bbrapa tahu stelah tx.
Sumber : Mycek_Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2 (392-393)

Mechloretamine

Merupakan salahsatu obat sitistatiska golongan nitrogen mustard, yaitu obat sititastik dengan mekanisme kerja alkylating agent, dimana menyebabkan alkilasi pada basa2 DNA; RNA tidak terbentuk sehingga protein tdk terbentuk, sel tidak membelah (sintesis protein salah, tidak sesuai yang dibutuhkan sel kanker). Merubah DNA sel2 kanker sehingga proses transkripsi tidk trjdi/hsl tdk sesuai yg dibutuhkan shgga translasi tdk terjadi/sel mati krena hasil (protein yang dibutuhkan) tidk sesuai.

Mekloretamin dibentuk sebagai vesikan (nitrogen mustard) selama PD I. Kemampuannya menyebabkan limfositopenia menyebabkan penggunaannya untuk kanker limfatik. Karena obatdapat berikatan dan berx pada dua tempat terpisah, zat ini disebut “zat berf/ ganda”

Mx: mekloretamin dibawa ke dalam sel melalui proses pengambilan kolin. Obat kehilangan ion klorida dan membentuk zat intermediate reaktif yg mengalkilasi nitrogen N7 dari residu guanine pada satu atau kedua sisi strand molekul DNA. Alkilasi ini menyebabkan terjadinya perlengketan silang antara residu guanine dalam rantai DNA, dan/atau depurinasi yg memudahkan pecahnya strand DNA. Alkilasi juga dpt menyebabkan salah kode mutasi. Meskipun alkilasi dpt terjadi pd sel yg berkembang atau istirahat (krna itu bersifat sel siklus nonspesifik), sel berkembang lebih sensitive terhadap obat terutama dalam fase G1 dan S.
Resistensi dijelaskan karena permeabilitas obat yg menurun, konjugasi meningkat dgn tiol seperti glutation, dan kemungkinan peningkatan perbaikan DNA.
Mekloretamin digunakan terutama pada pengobatan penyakit Hodgkin sebagai bagian regimen MOPP (Mekloretamin, Onkovin, Prednison, Prokarbazin) dan juga digunakan untuk pengobatan beberapa tumor padat.

Mekloretamin sangat tidak stabil dan larutan harus dibuat tepat sebelum pemberian. Mekloretamin juga bersifat vesikan kuat (zat pelepuh), dan diberikan hanya i.v, karena dpt menyebabkan kerusakan jringan hebat jika terjadi ekstravasasi. Karena reaktivitasnya, obat sulit diekskresikan.

Efek samping termasuk mual dan muntah yang hebat (bersifat sentral).
Note: efek ini dapat dihilangkan dengan pengobatan awal kannabinoid atau fenotiazin
Penekanan hebat pada sumsum tulang menghambat penggunaan yang lebih luas. Infeksi virus laten (missal, Herpes zoster) dapat muncul karena supresiimun. Ekstravasasi juga mrpkan masalah serius. Jika terjadi, daerah itu harus diinfiltrasi dengan natrium tiosulfat isotonic untuk melumpuhkan obat.
Sumber : Mycek_Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2 (391-392)

Rabu, 06 Januari 2010

Aspirin unwarranted for primary prevention of cardiovascular disease

Richard Philip

While several guidelines recommend it, giving low-dose aspirin to prevent heart attacks and strokes in people who have not developed cardiovascular disease (CVD) should be stopped, says a recent review paper.

“Overall, we believe that the currently available evidence does not justify the routine use of low-dose aspirin for the primary prevention of CVD in apparently healthy individuals, including those with elevated blood pressure or diabetes; this is because of the potential risks and lack of effect on mortality,” said the review, which was published in the Drug and Therapeutics Bulletin – a monthly journal that provides independent evaluation and advice on treatments and disease management.

The review stated that while a number of guidelines published from 2005 to 2008 have encouraged aspirin-use for the primary prevention of CVD for a range of patients (for example, those aged 50 or above, type 2 diabetics or those with high blood pressure) there is no evidence to back such therapy.

A UK National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) guideline, which came out in 2008, recommended 75 mg of aspirin for patients with type 2 diabetes who are at least 50 years old if their blood pressure is lower than 145/90 mmHg and for younger patients with CV risk factors such as smoking and hypertension, noted the paper. [DTB 2009;47:122-125]

It also pointed out another recommendation from the Fourth Joint Taskforce of the European Society of Cardiology Guidelines published in 2007, which proposed 75 mg of aspirin per day for individuals without symptoms if their 10-year CVD death risk is more than 10 percent and blood pressure is controlled to the target of less than 140/90 mmHg.

Other recommendations for the use of aspirin in primary prevention of CVD came, for example, from the Joint British Societies’ 2005 guidelines and the Scottish Intercollegiate Guideline Network.

“Worldwide, many people take aspirin daily in the belief that doing so helps to prevent CVD. This approach is established for the secondary prevention of recurrent vascular events … there have been doubts about any benefits of aspirin in people with no history of CVD outweighing the risks,” said the article.

There is substantial research showing that aspirin may not be useful in the primary prevention of CVD. An example is a collaborative meta-analysis of six randomized controlled trials that appeared recently in the Lancet. While results from the analysis showed that all-cause mortality and death resulting from coronary heart disease (CHD) and stroke did not differ between the aspirin group and the control group, those who received aspirin had an increased chance of severe gastrointestinal or extracranial bleeding.

“In primary prevention without previous disease, aspirin is of uncertain net value as the reduction in occlusive events needs to be weighed against any increase in major bleeds,” the authors of the meta-analysis noted. They added that currently available trial findings do not appear to support the routine use of aspirin in all apparently healthy persons above a moderate level of CHD risk. [Lancet 2009;373:1849-60]

The paper called upon physicians to review all patients currently on low-dose aspirin for primary prevention, either as prescribed or over-the-counter treatment. It stated that the decision as to whether the patient should continue or stop the medication should be made only after physicians have fully apprised patients of the available evidence.

“We believe, therefore, that low dose aspirin prophylaxis should not be routinely used for primary prevention,” it concluded.

from : mims online

SEVEN STAR PHARMACIST

1. Care giver

Farmasis sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan kimia, analisis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, farmasis harus berinteraksi dengan pasien secara undividu maupun kelompok. Farmasis harus mengintegrasikan pelayanannya pada system palayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker

Farmasis mendasarkan pekerjaanya pada kecukuoan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya SDM, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan, dll. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan ketrampilan farmasis perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

3. Communicator

Farmasis mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, nonverbal, mendengar dan kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan.

4. Leader

Farmasis diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Manager

Farmasis harus efektif dalam mengelila sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Labih jauh lagiii farmasis mendarang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal yang berhubungan dengan obat.

6. Life-long learner

Farmasis harus senang belajar sejak dari kuliah dan menjamin bahwa keahlian dan ketrampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Farmasis juga harus memperlajari cara belajar yang efektif.

7. Teacher

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melarih farmasis generasi mendatang. Pasrtisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu pengetahuan baru satu samal ain, tetapi juga kesemparan memperolah pengalaman dan peningkatan ketrampilan.